Toleransi,
Tenggangrasa dan Ucapan Selamat Natal
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia selalu memerlukan orang lain guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab itulah manusia dijuluki sebagai makhluk
sosial. Demikian padatnya kebutuhan manusia sehingga persinggungan diantara
mereka tidak mungkin terelakkan. Bahkan di dunia yang semakin mengglobal ini,
persinggungan itu telah menembus batas. Batas ruang, waktu, budaya, agama dan
juga ideologi.
Persinggungan ini harus dikelola dengan baik, agar
tidak berubah menjadi gesekan yang akan menghanguskan harmonisme kehidupan.
Untuk menjaga ritem ini diperlukan sebuah konsep saling mengerti, yang dalam
bahasa kita dikenal dengan teposeliro atau tenggangrasa. Yaitu sikap
saling menghormati dan saling menghargai perasaan orang lain. Karena hanya
dengan sikap inilah keselarasan hidup bersama orang lain akan tetap
terseleggara. Apalagi jika mengingat keberadaan negara Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku, ras, agama dan juga bahasa. Maka memiliki sikap
tenggangrasa menjadi sebuah kewajiban bagi saiapapun yang hidup di Indonesia.
Bagi umat Islam sendiri perbedaan ini bukanlah sebuah
masalah. Karena memang demikianlah Allah swt menciptakan kehidupan di dunia
ini, sebagaimana firmannya dalam al-Hujarat ayat 13
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…
Memang mengelola perbedaan bukanlah hal yang mudah,
hanya muslim yang berkwalitas iman dan taqwanya yang dititipi oleh Allah swt
kemampuan menjaga keseimbangan ini. Karena sejatinya perbedaan itu merupakan
kasunyatan yang sengaja dihadirkan Allah swt sebagai cobaan bagi umat muslim.
Sebagaimana diandaikan Allah sendiri dalam surat al-Maidah 48.
وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Seandainya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu,
Ayat di atas merupakan sebuah petunjuk bagi umat
muslim, bahwasannya persamaan dan kesatuan hanyalah sekedar pengandaian adapaun
kenyataannya sesungguhnya adalah perbedaan, dan sekaligus Allah swt menjadikan
yang nyata itu sebagai ‘soal’ ujian bagi manusia. Karena Allah swt mengetahui
bahwa manusia tidak akan mampu menjawab soal ujian yang bersifat pengandaian
seperti di atas. Dengan kata lain manusia tidak akan mampu bertahan hidup jika
Allah swt menciptakan manusia dalam satu macam saja.
Dalam rangka mempermudah manusia menemukan jawaban
dari soal ujian tentang perbedaan ujian ini, Allah swt perintahkan Rasulullah
saw turun ke bumi untuk mengajar umatnya. Sayangnya persinggungan Rasulullah
saw dengan pemeluk agama lain (yahudi dan nasrani) tidak tergambar dengan
komplit dalam hadits-haditsnya kecuali sangat sedikit sekali. Diantaranya
adalah hadits riwayat Abu Hurairah;
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى
بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى
أَضْيَقِهِ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah
Saw. bersabda: “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani,
dan bila kamu berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat
yang lebih sempit.” (HR. Muslim)
Melalui hadits di atas Rasulullah saw mengajarkan
kepada umatnya bagaimana cara memperlakukan pemeluk agama lain ketika
berpapasan di tengah jalan. Demikian pula seharusnya ajaran ini diqiyaskan
secara aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Hendaknya seorang muslim tetap
menyediakan ‘ruang sosial’ untuk menghormati mereka, tetapi ruang itu harus
lebih sempit adanya dibandingkan dengan ruang sosial yang kita sediakan sesama
muslim. Hal ini sebagai bukti keteguhan hati dalam beragama Islam.
Ruang itupun harus jelas batasannya. Imam Nawawi dalam
Tafsir Munir menjelaskan bahwa penghormatan itu hanya boleh dilakukan dalam
batas urusan duniawi (sosial saja) tidak menyinggung soal aqidah. Itupun harus
disertai dengan keyakinan bahwa hanya Islamlah agama yang paling haq, adapun
yang lain adalah bathil. Jikalau penghormatan itu terlalu berlebihan hingga
melahirkan rasa simpati kepada agama lain, maka hal itu dilarang. Karena dapat
menyebabkan kekufuran.
واعلم أن كون
المؤمن مواليا للكافر يحتمل ثلاثة اوجوه احدها ان يكون راضيا بكفره ويتولاه لأجله
وهذا ممنوع لان الرضى بالكفر كفر. وثانيها المعاشرة الجميلة فى الدنيا بحسب الظاهر
وذلك غير ممنوع. وثالثها الركون الى الكفر والمعونة والنصرة اما بسبب القرابة
اوبسبب المحبة مع اعتقاد ان دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر الا انه منهى عنه لان
الموالة هذا المعنى قد تجره الى استحسان طريقه والرضى بدينه وذلك يخرجه عن
الاسلام
Demikian pula pendapat Imam ar-Razi yang termaktub
dalam tafsirnya Mafathul Ghaib. Meski demikian keterangan dalam Hasyiyah
al-Bujairami alal Khatib memberikan pengecualian bahwa berhubungan dengan
pemeluk agama lain sangat dianjurkan apabila dirasa mampu memberikan maslahah
secara syar’i atau dapat menghindarkan diri dari bahaya
قَوْلُهُ (تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ
بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ ... الخ أما
معاشرتهم لدفع ضرر يحصل منهم أو جلب نفع فلاحرمة فيه ا هـ
Pembahasan mengenai hubungan dengan agama lain menjadi
sangat kontekstual ketika musim natal dan tahun baru tiba. Apalagi kalau tidak
soal hukum mengucapkan natal dan tahun baru kepada pemeluk agama lain?
Beranjak dari keterangan teks di atas, memang tidak
ada satupun kata yang menunjuk pada ucapan selamat natal ataupun tahun baru.
Mungkin saja tradisi semacam itu tidak terdapat dalam kehidupan penulis pada
zaman dan dilingkungannya. Akan tetapi teks tersebut bisa menjadi sumber
simpulan melarang mengupkan selamat natal dan tahun baru kepada pemeluk agama
lain, kecuali hanya sebagai basa-basi saja. Bukan diniatkan sebagai do’a
apalagi sebagai rasa simpati dengan aqidahnya.
Demikialah tradisi saling berucap selamat ini
dilakukan oleh umat bergama di Indonesia. Mereka saling mengucap selamat di
hari raya dan tahun baru sebagai mujamalah dhahriyah (basa-basi saja)
tanpa ada rasa dalam hati. Ini merupakan salah satu nilai yang terkandung dalam
konsep tenggangrasa. Yaitu saling menjaga perasaan antara satu dan lainnya yang
diejawantahkan dalam bentuk basa-basi dan kesopanan. Ini sangatlah penting
karena ‘yang lain’ itu pada dasarnya adalah bagian dari keluarga besar
Indonseia juga. Tenggangrasa tidak pernah meganggap yang lain adalah
benar-benar orang lain. Tenggangrasa melihat perbedaan sebagaimana adik-kakak
yang berbeda pendirian, berbeda selera dan keinginan tetapi mereka adalah satu
keluarga. Sesuai dengan firman Allah swt
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab
itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata,
Hal ini sungguh berbeda dengan konsep toleransi yang
memandang orang lain adalah benar-benar orang lain, bukan bagian dari keluarga.
Sehingga harus dihormati dan diberi kesempatan selayaknya menghormati seorang
tamu bukan saudara. Diantaranya dengan membiarkan (tolere) apapun yang
mereka lakukan meskipun itu berbeda dengan kita. Terasa sekali adanya unsur
‘agak memaksa’ dalam memberikan penghormatan menurut konsep toleransi. Dalam
toleransi tersirat adanya kepentingan dalam ‘menghormati’ orang lain,
penghormatan yang tidak lahir dari tulusnya hati tapi karena seuatu hadirnya
sesutau yang lain.
Sesungguhnya jika diangan lebih dalam berbagai masalah
yang timbul seputar wacana hubungan antar pemeluk agama (mulai dari ucapan
selamat natal, valentine day, tahun baru, dll) itu muncul berbarengan dengan
munculnya konsep toleransi itu sendiri. Walhasil apakah kita masih ingin
melanjutkan keterjebakan kita dalam goa toleransi yang selalu menghadirkan
permasalahan? Atau menggeser diri keluar dari kegelapan goa toleransi dan
kembali pada terang tenggangrasa? (Red. Ulil H)
Sumber :http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,48857-lang,id-c,syariah-t,Toleransi++Tenggangrasa+dan+Ucapan+Selamat+Natal-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar